Cinta kepada Rasulullah Nabi Muhammad Saw tidak cukup dengan membaca shalawat atau memeriahkan acara maulidan. Namun, lebih dari itu, harus dibuktikan dengan meneladani perilakunya baik dalam hal akhlak, ibadah, dan muamalahnya.
Seseorang sudah bisa dikatakan benar-benar mencintai Rasul jika ia berusaha seoptimal mungkin mencontoh dan menjalankan sunnah Rasul. Anas bin Malik meriwayatkan:
“Rasulullah Saw berkata kepadaku: ‘Wahai anakkku, jika kamu mampu pada pagi sampai sore hari tida ada dihatimu sifat berkhianat pada seorang pun maka perbuatlah’. Lalu beliau berkata kepadaku lagi: ’Wahai anakku! Itu termasuk sunnahku dan siapa yang menghidupkan sunnahku maka ia telah mencintaiku dan siapa yang telah mencintaiku maka aku bersamanya di surga’. (HR. Al-Tirmidzi).
DR. Muhammad Kholifah Al-Tamimi dalam kitab Huquq Al Nabi ‘Ala Umatihi Fi Dhu’il Kitab Was Sunnah seperti dikutip ustadzkholid.com menyebutkan, mengikuti, menghidupkan, dan menegakkan sunah Rasul dalam setiap langkah kehidupan adalah bukti cinta kepada Rasulullah Saw sebagaimana juga menjadi bukti kecintaan kepada Allah.
“Katakanlah (Muhammad): Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” (QS. Ali Imran: 31).
Kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya menuntut konsekuensi mengamalkan hal-hal yang dicintai dan menjauhi yang dilarang dan dibenci dan tidak mungkin ada orang yang mencintai Rasulnya adalah orang yang tidak mau mengikuti sunnahnya atau bahkan melakukan kebid’ahan dengan sengaja.
Ciri dan bukti lain cinta Rasul yang sebenarnya adalah banyak ingat dan menyebutnya. Menjadi kelaziman, orang yang mencintai sesuatu tentu akan memperbanyak ingat dan menyebutnya. Salah satunya dengan cara sering meenyampaikan shalawat dan salam.
”Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. Al-Ahzaab:56)
Menurut Ibnul Qayyim, ketika seseorang memperbanyak menyebut kekasihnya, mengingatnya di hati, dan mengingat kebaikan-kebaikan dan faktor-faktor yang menumbuhkan perasaan cinta kepadanya, maka makin berlipat ganda kecintaannya kepada kekasihnya tersebut dan bertambah rindu kepadanya serta menguasai seluruh hatinya.
Jika ia tidak sama sekali menyebutnya dan tidak mengingatnya dan mengingat kebaikan-kebaikan sang kekasih di hatinya, maka akan berkurang rasa cinta di hatinya.
Ibnul Qayyim juga menyatakan, adab tertinggi terhadap Rasulullah Saw adalah menerima penuh, tunduk patuh kepada perintahnya, dan menerima beritanya dengan penuh penerimaan dan pembenaran, tanpa ada penentangan dengan khayalan batil yang dinamakan ma’qul (masuk akal), syubhat, keraguan atau mendahulukan pendapat para intelektual dan kotoran pemikiran mereka, sehingga hanya berhukum dan menerima, tunduk dan taat kepada beliau.
Ada cinta, pasti ada rindu. Bukti lain cinta Rasul adalah keinginan kuat untuk bertemu dengan beliau, khususnya umat beliau yang hidup setelah beliau wafat atau tidak sezaman dengan beliau.
”Di antara umatku yang paling mencintaiku adalah orang-orang yang hidup setelahku, salah seorang dari mereka sangat ingin melihatku walaupun menebus dengan keluarga dan harta.” (HR. Muslim).
”Demi Dzat yang jiwa Muhammad ditanganNya (Allah), pasti akan datang pada salah seorang dari kalian satu waktu dan ia tidak melihatku, kemudian melihat aku lebih ia cintai dari keluarga dan hartanya.” (HR. Muslim).
Termasuk tanda dan bukti cinta Rasul adalah membaca, memahami, dan mengamalkan Al-Quran. Menurut Imam Al-Qadhi Iyaad, di antara tanda-tanda mencintai Rasulullah adalah mencintai Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dan beliau mengambil petunjuk dan menunjuki (manusia) dengannya serta berakhlak dengannya. Siti A’isyah menyatakan, “Sesungguhnya akhlak beliau adalah Al Qur’an.” (HR Muslim).
Mencintai Rasululllah juga harus diikuti dengan mencintai orang-orang yang beliau cintai, di antaranya ahli bait (kerabat beliau), para istri beliau, dan para sahabat beliau.
Menurut Ibnu Taimiyah, di antara ushul (pokok ajaran) Ahlu Sunnah Wal Jamaah adalah tidak mencela para sahabat Rasulullah Saw sebagaimana hadits:
“Janganlah kalian mencela para sahabatku. Demi Allah, seandainya salah seorang kalian berinfaq emas sebesar gunung uhud, tidak akan menyamai satu mud mereka dan tidak pula separuhnya.”
Sebaliknya, orang yang cinta Rasul juga membenci mereka yang dibenci Allah SWT dan Rasul-Nya.
Wallahu a’lam.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar